Minggu, 18 November 2012

PERTANDINGAN QURAN & TRIPITAKA

APA TRIPITAKA ITU ?
 

Tipitaka (Pali) atau Tripitaka (Sansekerta) merupakan Kitab Suci Agama Buddha. Tipitaka terdiri dari 3 kitab (pitaka), yaitu :
 

1. Vinaya Pitaka adalah bagian pertama dari tiga bagian Tripitaka, kitab suci agama Buddha. Bagian ini berisi hal-hal yang berkenaan dengan peraturan-peraturan bagi para bhikkhu -Bhiksu, atau kadangkala dieja sebagai biksu-, atau bikkhu -biksuni, bhikkhuni, atau bikkhuni untuk wanita- merupakan kata serapan dari bahasa Sansekerta dalam bahasa Indonesia yang merujuk kepada seorang rahib atau rohaniawan agama Buddha. 

Setiap peraturan itu di rumuskan disusun, dan dibukukan menurut perkembangan kebiaraan sepanjang sejarahnya. Dari jumlah 227 buah peraturan yang ada jmlah in menurut penelitian sarjana-sarjana perbandingan agama, mungkin Cuma sejumlah kecil saja yang betu-betul berasal dari Buddha Gautama.
 

2. Sutta Pitaka adalah bagian pertama dari tiga bagian Tripitaka, kitab suci agama Buddha. Sutta Pitaka terdiri atas 5 kumpulan (Nikaya) atau buku, yaitu:
a. Digha Nikaya
b. Majjhima Nikaya
c. Satyutta Nikaya
d. Atguttara Nikaya
e. Khuddaka Nikaya
 

yang berisikan khotbah-khotbah Sang Buddha. Bagian terbesar daripadanya terdiri atas percakapan (dialog) antara Buddha dengan berbagai muridnya. Di dalamnya juga termasuk kitab-kitab tentang pertekunan (meditasi) dan peribadatan (devosi).
 

Dan juga himpunan kata-kata hikmah, himpunan sajak-sajak agamawi, kisah-kisah kiasan, kisah berbagai orang suci dan sebagainya. Satta terbagi kepada berbagai Nikaya, dan setiap Nikaya itu terbagi kepada Vagga. Keseluruhan himpunan ini di tujukan bagi kalangan awwam dalam agama Buddha.
 

3. Abhidhamma Pitaka, adalah kitab yang berisikan tentang uraian mengenai filsafat, metafisika dan ilmu jiwa Buddha Dhamma, yang terdiri dari 42.000 Dhammakhandha (pokok Dhamma), yang terbagi menjadi:
a. Dhamma sangai
b. Vibhanga
c. Dhatukatha
d. Puggala paññatti
e. Kathavatthu
f. Yamaka
g. Patthana

yang berisikan Ajaran tentang metafisika dan ilmu kejiwaan.
Abhidhamma berasal dari istilah Pali yang secara etimologinya terdiri dari dua kata yaitu Abhi yang berarti tinggi, agung, luhur, luas, dan Dhamma yang berarti kebenaran atau ajaran kebenaran dari Sang Buddha. Jadi Abhidhamma berarti ajaran yang luhur, agung, atau tinggi dari Sang Buddha. Yang ditujukan bagi lapisan terpelajar, berisikan himpunan pembahasan mendalam tentang proses, pemikiran dan proses kesadaran. Peling terkenal dalam himpunan itu ialah Milinda Panha (dialog dengan raja Milindha) dan pula Visuddhi Maga (jalan menuju kesucian).
 

Sebagai ajaran tertinggi Abhidhamma memungkinkan seseorang untuk mencapai pembebasan mutlak dari semua bentuk penderitaan, karena Abhidhamma berguna untuk mengembangkan pandangan terang (Vipassana bhavana). Tetapi tidak pula dikatakan bahwa Abhidhamma mutlak atau sangat perlu untuk mencapai kebebasan, pengertian dan pencapaian kebebasan semata-mata tergantung pada diri sendiri. Dikatakan bahwa Empat Kesunyataan Mulia yang merupakan landasan ajaran Sang Buddha terdapat dalam diri masing-masing manusia. Dhamma tidak terlepas dari diri manusia sendiri; manusia perlu mencari ke dalam diri mereka sendiri dan kebenaran akan tampak.

SEJARAH PITAKA
Setelah Sang Buddha Parinibbana (543 SM), tiga bulan kemudian diadakan Sidang Agung Sangha (Sangha Samaya).

 

A. SIDANG AGUNG I (KONSILI I)
 

Diadakan pada tahun 543 SM (3 bulan setelah bulan Mei), berlangsung selama 2 bulan Dipimpin oleh YA.Maha Kassapa dan dihadiri oleh 500 orang Bhikkhu yang semuanya Arahat. Sidang diadakan di Goa Satapani di kota Rajagaha. Sponsor sidang agung ini adalah Raja Ajatasatu.
Tujuan Sidang:
 

Menghimpun Ajaran Sang Buddha yang diajarkan kepada orang yang berlainan, di tempat yang berlainan dan dalam waktu yang berlainan. Mengulang Dhamma dan Vinaya agar Ajaran Sang Buddha tetap murni, kuat, melebihi ajaran-ajaran lainnya. Y.A. Upali mengulang Vinaya dan Y.A. Ananda mengulang Dhamma. Kesimpulan/Hasil Konsili I:
 

Sangha tidak akan menetapkan hal-hal mana yang perlu dihapus dan hal-hal mana yang harus dilaksanakan, juga tidak akan menambah apa-apa yang telah ada. Mengadili Y.A. Ananda Mengucilkan Chana Agama Buddha masih utuh.

 

B. SIDANG AGUNG II (KONSILI II)
 

Diadakan pada tahun 443 SM (100 tahun sesudah yang I), berlangsung selama 4 bulan. Dipimpin oleh YA. Revata dan dibantu oleh YA. Yasa serta dihadiri oleh 700 Bhikkhu. Sidang diadakan di Vesali Sponsor sidang agung ini adalah Raja Kalasoka. Tujuan Sidang:
 

Sekelompok Bhikkhu Sangha (Mahasanghika) menghendaki untuk memperlunak Vinaya yang sangat keras (tetapi gagal). Kesimpulan/Hasil Konsili II:
Kesalahan-kesalahan para Bhikkhu dari suku Vajjis yang melangggar pacittiya dibicarakan, diakui bahwa mereka telah melanggar Vinaya dan 700 Bhikkhu yang hadir menyatakan setuju. Pengulangan Vinaya dan Dhamma, yang dikenal dengan nama "Satta Sati" atau "Yasathera Sanghiti" karena Bhikkhu Yasa dianggap berjasa dalam bidang pemurnian Vinaya.

 

C. SIDANG AGUNG III (KONSILI III)
 

Diadakan pada tahun +/- 313 SM (230 tahun setelah sidang I). Dipimpin oleh Y.A. Tissa Moggaliputta. Sidang diadakan di Pataliputta. Sponsor Sidang Agung ini adalah Raja Asoka dari Suku Mauriya. Tujuan Sidang:
 

Menertibkan perbedaan pendapat yang mengaktifkan perpecahan Sangha. Memeriksa dan menyempurnakan Kitab Suci Pali (memurnikan Ajaran Sang Buddha). Raja Asoka meminta agar para Bhikkhu mengadakan upacara Uposatha setiap bulan, agar Bhikkhu Sangha bersih dari oknum-oknum yang bermaksud tidak baik. Kesimpulan / Hasil Konsili III:
 

Menghukum Bhikkhu-Bhikkhu selebor. Ajaran Abhidhamma diulang tersendiri oleh Y.A. Maha Kassapa, sehingga lengkaplah pengertian Tipitaka (Vinaya,Sutta, dan Abhidhamma). Jadi pengertian Tipitaka mulai lengkap (timbul) pada Konsili III. Y.A. Tissa memilih 10.000 orang Bhikkhu Sangha yang benar-benar telah memahami Ajaran Sang Buddha untuk menghimpun Ajaran tersebut menjadi Tipitaka dan perhimpunan tersebut berlangsung selama 9 bulan. Keterangan:
 

Pada saat itu Sangha sudah terpecah dua, yaitu : Theravãda (Sthaviravada) dan Mahasanghika. Sementara itu ada ahli sejarah yang mengatakan bahwa pada Konsili III ini bukan merupakan konsili umum, tetapi hanya merupakan suatu konsili yang diadakan oleh Sthaviravada.

 

D. SIDANG AGUNG IV (KONSILI IV)
 

Diadakan pada masa pemerintahan Raja Vattagamani Abhaya (tahun 101 - 77 SM). Dipimpin oleh Y.A. Rakhita Mahathera dan dihadiri oleh +/- 500 Bhikkhu. Sidang diadakan di Alu Vihara (Aloka Vihara) di Desa Matale. Tujuan Sidang:
Mencari penyelesaian karena melihat terjadinya kemungkinan-kemungkinan yang mengancam Ajaran-ajaran dan kebudayaan-kebudayaan Agama Buddha oleh pihak-pihak lain. Kesimpulan / Hasil Konsili IV:
Mengulang Tipitaka. Menyempurnakan komentar Tipitaka. Menuliskan Tipitaka dan komentarnya di atas daun lontar. Keterangan:
Konsili ini diakui sebagai konsili yang ke IV oleh sekte Theravãda.
 

Beberapa minggu setelah Sang Buddha wafat (483 SM) seorang Bhikkhu tua yang tidak disiplin bernama Subhaddha berkata : "Janganlah bersedih kawan-kawan, janganlah meratap, sekarang kita terbebas dari Pertapa Agung yang tidak akan lagi memberitahu kita apa yang sesuai untuk dilakukan dan apa yang tidak, yang membuat hidup kita menderita, tetapi sekarang kita dapat berbuat apa pun yang kita senangi dan tidak berbuat apa yang tidak kita senangi" (Vinaya Pitaka II,284). Maha Kassapa Thera setelah mendengar kata-kata itu memutuskan untuk mengadakan Pesamuan Agung (Konsili) di Rajagaha.
 

Dengan bantuan Raja Ajatasattu dari Magadha, 500 orang Arahat berkumpul di Gua Sattapanni dekat Rajagaha untuk mengumpulkan ajaran Sang Buddha yang telah dibabarkan selama ini dan menyusunnya secara sistematis. Yang Ariya Ananda, siswa terdekat Sang Buddha, mendapat kehormatan untuk mengulang kembali kotbah-kotbah Sang Buddha dan Yang Ariya Upali mengulang Vinaya (peraturan-peraturan). Dalam Pesamuan Agung Pertama inilah dikumpulkan seluruh ajaran yang kini dikenal sebagai Kitab Suci Tipitaka (Pali). Mereka yang mengikuti ajaran Sang Buddha seperti tersebut dalam Kitab Suci Tipitaka (Pali) disebut Pemeliharaan Kemurnian Ajaran sebagaimana sabda Sang Buddha yang terakhir: "Jadikanlah Dhamma dan Vinaya sebagai pelita dan pelindung bagi dirimu".
 

Pada mulanya Tipitaka (Pali) ini diwariskan secara lisan dari satu generasi ke genarasi berikutnya. Satu abad kemudian terdapat sekelompok Bhikkhu yang berniat hendak mengubah Vinaya. Menghadapi usaha ini, para Bhikkhu yang ingin mempertahankan Dhamma - Vinaya sebagaimana diwariskan oleh Sang Buddha Gotama menyelenggarakan Pesamuan Agung Kedua dengan bantuan Raja Kalasoka di Vesali, di mana isi Kitab Suci Tipitaka (Pali) diucapkan ulang oleh 700 orang Arahat. Kelompok Bhikkhu yang memegang teguh kemurnian Dhamma - Vinaya ini menamakan diri Sthaviravada, yang kelak disebut Theravãda. Sedangkan kelompok Bhikkhu yang ingin mengubah Vinaya menamakan diri Mahasanghika, yang kelak berkembang menjadi mazhab Mahayana. Jadi, seabad setelah Sang Buddha Gotama wafat, Agama Buddha terbagi menjadi 2 mazhab besar Theravãda dan Mahayana.
 

Pesamuan Agung Ketiga diadakan di Pattaliputta (Patna) pada abad ketiga sesudah Sang Buddha wafat (249 SM) dengan pemerintahan di bawah Kaisar Asoka Wardhana. Kaisar ini memeluk Agama Buddha dan dengan pengaruhnya banyak membantu penyebarkan Dhamma ke suluruh wilayah kerajaan. Pada masa itu, ribuan gadungan (penyelundup ajaran gelap) masuk ke dalam Sangha dangan maksud meyebarkan ajaran-ajaran mereka sendiri untuk meyesatkan umat. Untuk mengakhiri keadaan ini, Kaisar menyelenggarakan Pesamuan Agung dan membersihkan tubuh Sangha dari penyelundup-penyelundup serta merencanakan pengiriman para Duta Dhamma ke negeri-negeri lain.
 

Dalam Pesamuan Agung Ketiga ini 100 orang Arahat mengulang kembali pembacaan Kitab Suci Tipitaka (Pali) selama sembilan bulan. Dari titik tolak Pesamuaan inilah Agama Buddha dapat tersebar ke suluruh penjuru dunia dan terhindar lenyap dari bumi asalnya.
 

Pesamuan Agung keempat diadakan di Aluvihara (Srilanka) di bawah lindungan Raja Vattagamani Abhaya pada permulaan abad keenam sesudah Sang Buddha wafat (83 SM). Pada kesempatan itu Kitab Suci Tipitaka (Pali) dituliskan untuk pertama kalinya. Tujuan penulisan ini adalah agar semua orang mengetahui kemurnian Dhamma Vinaya.
 

Dengan demikian, Agama Buddha mazhab Theravãda dalam pertumbuhannya sejak pertama sampai sekarang, termasuk di Indonesia, tetap mendasarkan penghayatan dan pembabaran Dhamma - Vinaya pada kemurnian Kitab suci tipitaka (Pali) sehingga dengan demikian tidak ada perbedaan dalam hal ajaran antara Theravãda di Indonesia dengan Theravada di Thailand, Srilanka, Burma maupun di negara-negara lain.
 

Sampai abad ketiga setelah Sang Buddha wafat mazhab Sthaviravada terpecah menjadi 18 sub mazhab, antara lain: Sarvastivada, Kasyapiya, Mahisasaka, Theravãda dan sebagainya. Pada dewasa ini 17 sub mazhab Sthaviravada itu telah lenyap. Yang masih berkembang sampai sekarang hanyalah mazhab Theravãda (ajaran para sesepuh). Dengan demikian nama Sthaviravada tidak ada lagi. Mazhab Theravãda inilah yang kini dianut oleh negara-negara Srilanka, Burma, Thailand, dan kemudian berkembang di Indonesia dan negara-negara lain.

APAKAH AL QUR AN ITU ?
Al Qur an berarti “Bacaan” asal kata Qarra, kata Al Qur an itu berbentuk masdar dengan arti isim maf’ul yaitu Maqru (dibaca).
Di dalam Al Qur an sendiri ada pemakaian kata “Qur an” dalam arti demikian sebagai tersebut dalam ayat 17,18 surat Al Qiyamah :


Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. (17)
Adapun definisi Al Qur an adalah “Kalam Allah swt. Yang merupakan mu’jizat yang diturunkan kepada nabi Muhammad saw. Yang ditulis di mushaf dan diriwayatkan dengan mutawatier serta membacanya adalah ibadah”.
Ditinjau dari segi masa turunnya, maka Al Qur an dibagi atas dua golongan :
 

A. Makkiyah atau ayat-ayat yang diturukan di makkah sebelum nabi Muhammad saw. Hijrah ke Madinah. Makkiyah pada umumnya pendek-pendek merupakan 19/30 dari isi al Qur an jumlah ayatnya 4.780 ayat. Makkiyah pada umumnya mengandung hal-hal yang berhubungan dengan keimanan, ancaman dan pahala, kisah-kisah umat yang terdahulu yang mengandung pelajaran dan budi pekerti.
 

B. Madaniyah atau ayat-ayat yang diturunkan di Madinah setelah Nabi Muhammad saw. Hijrah. Madaniyah pada umumnya panjang-panjang merupakan 11/30 dari isi al Qur an junlah ayatnya 1.456 ayat. Megandung hokum-hukum, baik yang berhubungan dengan hokum adat atau hokum duniawi, hokum perang, hokum internasional, hokum antar agama dan lain lain.



 

SEJARAH PEMELIHARAAN AL-QUR AN
 

Pada permulaan islam bangsa Arab adalah suatu bangsa yang buta huruf, amat sedikit di antara mereka yang pandai menulis dan membaca.
Mereka belum mengenal kertas yang dikenal sekarang. Perkataan “al Waraq” (daun) yang lazim pula dipakaikan kepada daun kayu saja. Adapun kata ‘Al Qirthas” yang diambil oleh bahasa Indonesia “kertas” hanyalah dipakai untuk bahan-bahan menulis saja yaitu : kulit binatang, batu yang tipis dan licin, pelepah korma, tulang binatang dan lain-lain sebagainya.
 

Kendati bangsa Arab pada waktu itu masih buta huruf, tetapi mereka mempunyai ingatan yang amat kuat. Hal ini menjadi Pegangan mereka dalam memelihara dan meriwayatkan sya’ir-sya’ir dari para pujangga.
Pada peperangan badar, orang-orang musyirikin yang ditawan oleh Nabi saw. Yang tidak mampu menebus dirinya dengan uang, tetapi pandai menulis baca, masing-masing dharuskan mengajar sepuluh orang muslim menulis dan membaca sebagai ganti tebusan.
 

Di dalam al Qur an pun banyak ayat-ayat yang menutarakan penghargaan yang tinggi terhadap huruf, pena dan tulisan. Firman Allah swt. :
2. Nun*, demi kalam dan apa yang mereka tulis,
3. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah,
4. yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam,
5. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.
 

[*] Maksudnya: Allah mengajar manusia dengan perantaraan tulis baca.
Karena itu bertambahlah keinginan untuk menulis dan membaca dan banyak orang yang menulis ayat-ayat yang telah diturunkan. Nabi sendiri memiliki beberapa orang yang bertugas untuk menulis ayat-ayat al Qur an untuk beliau. Mereka adalah Abu Bakar Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Tholib, Zubair bin Awwam, Zaid bin Tsabit, Mu’awiyah bin Abi Sofyan, Ubay bin Ka’ab, Muhammad bin Musallamah, Arqom bin Abi Arqom, Ibban bin Said bin Ash, Khalid bin Said bin Ash, Tsabit bin Kais, Hamzah bin Rabiah, Khalid bin Walid, Abdullah bin Arqom, Allak bin Otbah, Muhainah bin Sya’abah, dan Syarhabl bin Hassanah.
 

Kumpulan catatan yang telah dikumpulkan tersimpan selama masa pemerintahan Khalifah Abu Bakar yang dua tahun lamanya dan juga ddlam pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab yang sepuluh tahun lamanya. Dalam masa 12 tahun itu wilayah kekuasaaan Islam telah meluas keluar Arabia. Menguasai wilayah Imperium Parsi dan berbagai wilayah dari Imperium Roma timur.
 

Seiring dengan hal itu, Tokoh-tokoh terkemukan dari golongan anshor banyak yang meninggal dan gugur dalam medan perang. Jumlah para sahabat Nabi yang terpandang al Huffadz itu makin bertambah kecil, dikawatirkan kalangan al Huffadz itu akan makin menciut di ibukota Madinah karena sedah terpencar pada berbagai wilayah yang demikian luasnya.
 

Oleh karena itu Khalifah Utsman bin Affan pada masa pemerintahannya membentuk lembaga di bawah pimpinan Zaid bin Tsabit untuk melakukan penaskahan kitab suci Al Qur an dari kupulan catatan yang tersimpain ditangan Hafshah binti Khattab.
 

Kepada setiap wali (gubernur) pada setiap wilayah Islam dewasa itu, yang telah terbagi kepada sekian banyak perwaian. Dikirimkan sebuah naskah resmi dari kitab suci Al Qur an yang di bubuhi capresmi oleh khalifah Ustaman bin Affan. Itulah yang dikenal sampai masa sekarang ini dengan mushaf Utsmani. Beberapa naskah masih tersimpan dengan baik dewasa ini pada berbagai museum di dunia dan sebuah diantarannya pad museum Tashkent di Uni Sovyet. Sebuah naskah lain di hadiahkan oleh sultan Turki kepada Kaisar Wilhelm II dari Jerman, sebagai naskah antic yang tiada ternilai harganya. 

Oleh karena Jerman kalah dalam peperangan dunia pertama (1914-1918) dan terikat perjanjian Versaillis (1919) yang terkenal itu maka fasal 246 berbunyi :
“within six months from the comng into force of the present treaty, Germany will restone to his majesty, the king of the Hedjaz the original Koran of the Caliph Othman, which was removed from Medina by the Turkiah authorities and is states to have been presented to the ex emperor Wilhelm II” bermakna
“di dalam tempo enam bulan perjanjian ini belaku. Jerman akan mengembalikan al Qur an yang asli dari Khalifah Ustman, kepada paduka yang Mulia raja Hejaz yang tadinya diangkut dari Madinah oleh pejabat-pejabat Turki dan dinyatakan sudah dihadiahkan kepada bekas Kaisar Wilhelm II”

Dengan begitu, berbeda dari kitab suci berbagai agama lainnya, agama Islam sampai pada masa ini memiliki naskah Otentik dari kitab sucinya yang berasal dari Nabi Muhammad, dengan begitu, tidak satu kalimat pun, jangankan satu huruf tidak pernah mengalami perubahan dalam masa yang demikian panjang.
Dalam pada itu, tiap-tiap zaman dan masa Al Qur an dihafal oleh jutaan umat Islam, ini adalah salah satu inayah Tuhan untuk menjaga al Qur an. Dengan demikian terbuktilah firman Allah :

"Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan Sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya."

Categories:

1 komentar:

  1. selagi tidak menghina dan di berita miringkan seperti sebelah tuh .. Ya saya sangat berterima kasih pd umat Buddha yg memberikan informasinya :)

    BalasHapus

luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com

Copyright © Celotehtahulotek | Powered by Blogger

Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | BTheme.net      Up ↑